Rabu, 17 Juli 2013

Antarkota-Antarprovinsi



Suatu Sore saya meniatkan pulang kerumah dengan menaiki bus. Perjalanan pulang itu saya awali dengan Jalan dari lab histogy fakultas kedokteran menyusuri trotoar baru yang sedang dibangun, sambil menikmati hijaunya kampus UNS, menyusuri sungai pertanian, taman yang full-free-hotspot, gedung-gedung baru yang sedang direparasi dan tak terasa saya sudah sampai gerbang depan kampus, menyeberang dengan hati hati mengikuti traffic light pejalan kaki.


Tampak dari kejauhan ada bus bus besar, meskipun ada bus antarkota, tapi memang rute naik bus yang paling nyaman menurut saya adalah naik bus besar, karena cepat dan memang tujuannya mau sampai terminal tirtonadi, nanti tinggal minta jemput atau naik angkot atau naik setiya rini, tergantung nanti sajalah.


Akhirnya saya mengulurkan jari telunjuk saya pertanda berhentikan bus besar. Ooh.. rupanya bus besar yang berhenti ini bukan biasanya yg saya naiki, biasanya adalah bus jurusan dari karanganyar. Awalnya saya pede saja, duduk di kursi tambahan dekat sopir, berhadap hadapan dengan kaca depan.

Terus terjadilah dialog ini :

sopir : “Mau kemana mbak?”

saya : “Mau ke tirtonadi pak..”

sopir : “Loh maksudnya apa ini berhenti di tirtonadi, ini bus besar mbak, bus antarprovinsi, bukan bus antarkota, maksudnya apa mbak ini, sambil pasang wajah kesal dan geleng-geleng kepala.” (pak sopir marah sambil terus mengulang ulang perkataan tadi, dan kernetnya juga ikut pasang wajah kesal)

saya : (sambil menciut, bingung, deg-degan) “iya pak nanti saya bayar Rp.5ribu yaa pak”

sopir : “(masih sambil kesal), gag usah bayar mbak, untuk apa.., kalo mau bayar Rp 5ribu kali 60 orang, karena kalo saya nerima uang mbak, itu kesalahan, nanti saya malah kena denda dari Pul Bus saya.” (penumpang di kursi belakang banyak yang tertuju pada saya..)

(bisa dibayangkan bagaimana situasi saat itu kan.. Hiks)


 Saya mencerna kata-kata bapak sopir ini, karena memang awalnya tidak mengerti maksudnya, dan tidak mengerti juga salahnya yang mana, karena biasanya naik bus-bus besar kemaren juga ga dimarahin begini,.. spontan aja saya minta maaf (selain karena memang salah, biasanya ketulusan maaf kita ini dapat meluruhkan hati seseorang) à “Maaf yaa pak, saya benar benar tidak tahu.., insyaAllah besok besok tidak saya ulangi”(sedih dan menyesal)

Benar saja, pak sopir memaafkan saya, ini ditunjukkan dengan volume perkataannya yang mengecil dan lebih ramahà  “iyaa gapapa mbak, nanti turun aja, gag usah bayar” kemudian diikuti berpanjang lebar cerita tentang kelemahan kelemahan manajerial Pul Bus tempat beliau bekerja yang kurang baik ( I’m just listening and smiling, dan menganguk angguk karena takut salah ngomong lagi)

Ada dua Hal yang saya pelajari dalam peristiwa ini, 


Pertama : minta maaflah bila memang salah, atau kalaupun kita merasa benar tetaplah minta maaf, karena sesungguhnya memang kita tidak banyak tahu atau belum banyak tahu tentang sesuatu, justru dengan minta maaf ini maka seseorang akan membuka ruang diskusi bahkan bisa juga meluluhkan hati..

Kedua : Belajarlah untuk melakukan  sesuatu sesuai dengan aturan yang berlaku.. biar aman.. (tapi sebenarnya tidak hanya agar aman tapi juga biar bisa jadi pengalaman untuk siapa saja yang mau mengambilnya)


Akhirnya sampai juga di terminal, terus saya kasih ke kernetnya Rp. 5ribu, sambil berkata “diterima yaa mas, untuk beli gorengan”  ujar saya. Eh Alhamdulillah mau diterima, dan saya pun tersenyum sambil berlalu..

Maaf ya pak Sopir.. Maaf ya pak Kernet..